Mirisnya Nasib Guru di Zaman Now


khoiruummahciledug.sch.id - Ayah Bunda pernah dengar kan slogan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa? Siapa lagi kalau bukan cikgu alias guru. Yup… sejak kita sekolah Te-Ka, sampe kita jadi Sarjana pastinya banyak banget guru yang begitu luar biasa mengajari kita tentang ilmu pengetahuan bahkan juga ikut mendidik kita agar menjadi anak yang bukan saja berprestasi tapi juga berbudi baik. So, that’s why guru adalah orang tua kita di sekolah karna perannya yang juga mendidik kita.

Jadi, kalo ada guru yang menegur, bersikap tegas sama kita supaya kita disiplin itu sih wajar. Iya ngga Bunda? Kebayang ngga tuh, kalau guru ngga mendidik kita untuk disiplin, mau jadi apa coba kita maupun anak-anak kita nanti setelah lulus. Sedangkan salah satu modal sukses meraih cita-cita adalah disiplin. So, Ayah Bunda mau sukses dunia wal akhiroh? Ayoo… terusin bacanya.

Guruku sayang, Guruku Malang

Sosok guru tak ubahnya bagaikan pembawa cahaya, karna pada hakikatnya ilmu adalah cahaya (al ilmu nuur). Mungkin sembari kita membaca tulisan ini memori kita kembali ke masa dimana saat kita sekolah pertama kali entah itu saat Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar. Guru-guru kita pada saat itu luar biasa sabar mengajari kita membaca, menulis, bahkan membesarkan hati kita dengan sapaannya yang lembut bahwa kita adalah anak yang pintar. Memanglah guru adalah profesi yang mulia dimana mereka tak segan untuk membagi ilmunya kepada semua muridnya tak terkecuali, mereka ngga pernah tuh berpikir kalau ilmunya dibagikan maka ilmu mereka akan berkurang. Seorang guru bisa mencetak banyak profesi seperti dokter, arsitek, polisi dan lain-lain tapi seorang dokter, arsitek atau polisi belum tentu bisa jadi seorang guru. itulah unik dan kerennya seorang guru.

Satu lagi, seorang guru ngga akan pernah punya perasaan iri ketika melihat anak didiknya menjadi seorang yang berhasil atau sukses yang ada mereka malah bangga meski kita tahu “balasan” atas jasanya yang luarbiasa rasanya belum sebanding. Bisa jadi inilah yang akhirnya mereka dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tapiiii… bukan berarti tanpa tanda jasa trus guru-guru kita boleh diperlakukan semena-mena ya!! Don’t ever do that ya Mom and Dad!!

Di awal tahun 2016, dunia pendidikan Indonesia mendapat kado pahit. Seorang guru yang bermaksud melaksanakan tugas dan kewajibannya mendidik dan membina muridnya harus menanggung akibat yang memilukan dari orang tua siswa.

Aop Saopudin seorang guru sukwan di salah satu SDN di Jawa Barat harus menerima aksi balasan dari Iwan Himawan, orang tua siswa yang tidak terima gara-gara rambut anaknya dicukur oleh Aop.


Tidak hanya membalas mencukur rambut guru anaknya itu, Iwan juga mengintimidasi Aop bahkan dia melakukan tindak kekerasan.

Bukannya sang guru yang melaporkan si orang tua murid yang telah melakukan perbuatan tak tahu berterima kasih tersebut, sebaliknya justru Aop yang dilaporkan Iwan kepada pihak berwajib.

Dikutip dari website Mahkamah Agung, Jumat (1/1/2016), kasus ini bermula saat guru honorer SDN Penjalin Kidul V, Majalengka, Jawa Barat itu melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS.

Mendapati rambut gondrong ini, Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya sehingga gundul tidak beraturan. Sepulang sekolah, THS menceritakan hukuman disiplin itu ke ayahnya, Iwan.

Tidak terima anaknya dicukur, Iwan bersama teman-temannya lalu mendatangi rumah Kepala Sekolah, Ayip Rosidi. Sesampainya di rumah tersebut, Iwan tidak mendapati Ayip dan pulang. Di jalan, Iwan bertemu dengan Ayip dan Iwan lalu menanyakan razia rambut gondrong yang berakhir dengan pemotongan rambut anaknya. Jawaban Ayip tidak memuaskan pria kelahiran 23 November 1975 itu sehingga Iwan mencari Aop.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan Aop. Begitu bertemu, Iwan langsung mengangkat kerah baju Aop dan mendorong tubuh Aop ke belakang.

“Kamu hanya sekedar guru honor. Mau mengandalkan apa? Apa perlu saya membawa massa?” hardik Iwan ke Aop.

Beruntung, keributan ini dilerai teman Aop hingga Iwan memilih pulang tinggalkan Aop. Tapi nampaknya aksi Iwan tidak berhenti sampai disitu. Sore harinya, saat Aop pulang sekolah, Iwan telah menunggu Aop. Lalu Iwan memukul kepala Aop yang dibungkus helm. Iwan lalu memaksa Aop kembali ke SD. Sesampainya di SD, Iwan kembali mengintimdasi Aop disaksikan rekan-rekannya.
“Kamu harus tahu siapa saya. Saya habisi kamu! Saya minta rambut kamu untuk dicukur!” kata Iwan dengan lantang.

Rupanya kali ini Iwan sudah menyiapkan peralatan untuk melampiaskan kemarahannya. Secepat kilat, Iwan mengeluarkan gunting dan menggunting rambut Aop di atas telinga kanan dan kiri. Setelah itu, Iwan dan teman-temannya meninggalkan SD tersebut.

Drama sang guru dan orang tua yang sudah dibutakan mata hatinya ternyata belum selesai. Iwan melaporkan Aop ke polisi dengan tuduhan melakukan diskriminasi terhadap anak seusai dengan UU Perlindungan Anak dan perbuatan tidak menyenangkan sesuai KUHP. Atas aduan ini, warga Majalengka bergejolak dan melaporkan balik Iwan dengan delik perbuatan tidak menyenangkan. Keduanya lalu sama-sama diadili.

Dari proses hukum tersebut, Aop awalnya dihukum pidana percobaan di tingkat pertama dan banding. MA lalu membebaskan Aop karena sebagai guru. Mendidik siswa, termasuk mencukur siswa yang gondrong adalah bagian tugas dan kewajibannya.

Sementara Iwan Himawan yang awalnya juga dihukum percobaan di tingkat pertama. Tapi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, majelis hakim mencoret hukuman percobaan dan menjatuhkan pidana penjara kepada Iwan selama tiga bulan. Hukuman kepada Iwan lalu dikuatkan di tingkat kasasi.
Sumber Detikcom via Serambimata.com]

Masih teramat banyak fakta memprihatinkan lainnya dari dunia pendidikan kita bagaimana seorang siswa ada yang berani melukai gurunya bahkan ada yang memenjarakan gurunya hanya karena tidak terima saat ditegur. Sontak saja banyak yang akhirnya memberi perhatian khusus kepada guru tersebut betapa seorang guru yang berjasa harus menerima balasan jeruji penjara. Tentu teguran atau bahkan marahnya guru sekalipun yang tentu berada pada koridor yang dibenarkan adalah dalam rangka mendisiplinkan anak didiknya. Ingat Ayah Bunda, teguran guru kita maupun anak-anak kita saat ini bisa jadi kunci keberhasilan kita ataupun mereka di masa depan. Bayangkan jika perbuatan yang tidak baik masih terus anak kita lakukan karna tidak ada yang menegur, maka anak kita akan menjadi sosok yang tidak baik di masa yang akan datang.

Come on Mom & Dad, bisa jadi guru-guru anak kita masih belum tersejahterakan dalam kehidupannya tapi apakah itu membuat mereka berhenti dari tugasnya? Tidak. Mereka malah terus bersemangat untuk mencerdaskan anak bangsa agar negeri ini bisa dibangun oleh putra dan putri negerinya sendiri. Stop untuk melabeli guru-guru kita dengan label yang tidak baik misalnya guru “killer” karna dipandang galak oleh kita padahal coba deh renungi ngga mungkin ada guru yang ngga ada sebab musabab trus marah-marah. Stop bully guru dengan label apa pun, mulailah untuk menghormati dan memuliakannya.

Rasulullah saw bersabda “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti (hak) orang yang berilmu” (HR. Ahmad).

Berkahi Ilmu Dengan Hormati Guru

Sebagai seorang penuntut ilmu kita ataupun anak-anak kita wajib untuk mengikuti rambu-rambu alias adab-adab dalam menuntut ilmu salah satunya adab murid terhadap guru agar ilmu yang kita dapatkan menjadi berkah dan berfaedah.

Umar As-Sufyani Hafidzohulloh mengatakan “Jika seorang murid berakhlak buruk kepada gurunya maka akan menimbulkan dampak yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak dapat mengamalkan ilmunya atau tidak dapat menyebarkan ilmunya”.

Para ulama mazhab, Imam Ahmad, Imam Syafi’i, dan lainnya adalah murid-murid yang sangat menghormati dan memuliakan para gurunya. Jangankan berbuat gaduh saat belajar, Imam Syafi’i merasa segan meski hanya untuk minum air saat sedang belajar. Sedangkan Imam Malik saat hendak membuka lembaran bukunya, maka Ia melakukannya dengan sangat perlahan agar tidak berisik. Pantas saja mereka menjadi ‘orang besar”, itu karna memuliakan guru. Maka ilmu mereka pun menjadi berkah dan nama mereka sampai saat ini dikenal dan ilmunya dijadikan rujukan dalam beramal. Anak-anak kita mau seperti mereka?? Let’s check and do it.

Pertama, adab duduk adalah dengan tidak membentangkan kaki dan tidak bersandar. Ini kalau duduknya bukan di kursi ya Ayah Bunda. Ibnul Jamaah mengatakan “Seorang penuntut ilmu harus duduk rapi, tenang, tawadhu, mata tertuju kepada guru, tidak membentangkan kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi dan juga tidak membelakangi guru.”

Kedua, adab berbicara. Imam Abu Hanifah pun jika berada didepan Imam Malik, Ia layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para sahabat adalah murid bagi Rasulullah saw dan mereka tidak pernah beradab buruk, tidak pernah memotong ucapan atau mengeraskan suara di hadapan Rasulullah saw. Bahkan orang sekaliber Umar Bin Khattab yang terkenal keras wataknya tidak pernah menarik suaranya di hadapan Rosul sampai beliau kesulitan mendengar suara Umar saat berbicara.

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah saw duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satupun dari kami yang berbicara” (HR. Bukhari).

Ketiga, Adab bertanya. Bisa jadi apa yang diajarkan oleh guru ada yang belum kita pahami sehingga kita bertanya kepadanya.

Allah swt berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43).

Dengan bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kebingungan, serta mendapat ilmu. Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya ini. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya.

Keempat, Adab mendengarkan pelajaran. Diriwayatkan Yahya bin Yahya Al Laitsi tak beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah yang lewat di tengah pelajaran, Yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain. Maa sya Allah. How about us? Hmm.. kayaknya ada temen kita ngobrol, kita malah ikutan asik ngobrol padahal guru sedang menjelaskan pelajaran. Mulai sekarang kita ubah kebiasaan ini yah. Ajarkan juga anak-anak kita untuk menjadi murid yang lebih baik lagi dalam menuntut ilmu.

Kelima, Mendoakan guru-guru. Banyak dari kalangan salaf berkata, “Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan guru guruku semuanya.”

Keenam, guru juga manusia. Meski tugasnya mulia, bisa jadi ada kekurangan atau kesalahan yang guru lakukan namun tentu ngga tiba-tiba kita jadi berlaku tidak hormat pada mereka apalagi mencari-cari kesalahan guru.

Para ulama salaf senantiasa berdoa “Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah kau hilangkan keberkahan ilmunya dariku.” Adab dalam menegur mereka pun perlu diperhatikan mulai dari cara yang sopan dan lembut saat menegur dan tidak menegurnya di depan orang banyak.

The last but not least, meneladani guru. Merupakan suatu keharusan seorang penuntut ilmu mengambil ilmu serta akhlak yang baik dari gurunya.

Ibnu Utsaimin berkata, “Jika gurumu itu sangat baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut ilmu duduk di majelis seorang guru adalah mengambil ilmunya kemudian akhlaknya.”

Oke Ayah Bunda, semoga kita menjadi orang yang bisa memuliakan para cikgu.