MEMETIK KEINDAHAN LITERASI QUR’AN

Saya sering terhenti di tengah-tengah membaca al-Qur’an. Lalu saya tandai ayat yang membuat saya terhenti itu dengan stabillo atau pulpen. Merenungkan dan membacanya lagi berulang-ulang.


Itu terjadi ketika ketemu ayat yang menurut  saya isinya:  menohok; menyindir; ada unsur kebaruan; bentuk i’rob (penempatan harokat) yang tidak biasa atau belum pernah saya temui; struktur kalimatnya yang canggih; kedalaman pesannya; argumentasinya yang telak; teknik penulisannya; juga  kekhususan pilihan kata dan keindahan bahasanya.

Pengalaman ini mengajarkan saya pengetahuan penting. Tidak hanya bagaimana memahami makna pesannya. Tetapi juga bagaimana kitab suci ini dengan dahsyatnya membungkus pesan-pesan itu dengan keindahan literasi yang adiluhung.

Sebagai penulis yang terus berlatih, adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya mencermati hal ini.

Kesimpulan saya, Qur’an mengajarkan literasi tinggi. Teknik-teknik penyajian dan penulisan moderen, ternyata sudah dipaparkan Qur’an sejak 1.400 tahun lalu. Entah itu kebetulan atau tidak. Ekstrimnya, itu bisa saya katakan nyontek.

Qur’an membuka ajarannya pertama kali dengan iqro’. Perintah membaca.

Membaca sebagai dasar utama literasi. Melalui bentuk dan rangkaian kalimat-kalimatnya, Qur’an mengajarkan tentang struktur  berpikir yang benar. Struktur penulisan. Serta rumus-rumus logika, epistimologi, sejarah, dan linguistik.

Teknik penulisan moderen mengatakan, sebagus apa pun isi tulisan, ia harus disajikan secara menarik. Mudah dipahami. Tambahkan juga unsur keindahannya.

Pertama kali yang sering dibahas dalam teknik penulisan adalah struktur piramida terbalik. Yaitu, menulis yang dimulai dengan bagian besar pikiran, baru kemudian diuraikan detil-detilnya.

Metode ini bisa kita simpulkan dengan cara Qur'an menampilkan konsep besar pesannya melalui surah pembuka, al-Fatihah. Tujuh ayat tersebut, lalu diuraikan dalam bab-bab berikutnya. Ayat demi ayat. Surat demi surat.

Dalam banyak surat, teknik menampilkannya juga sering demikian. Langsung memulai dengan poin utama yang menghentak. Lalu diuraikan setahap demi setahap.

Sebuah tulisan akan bagus apabila dibuka dengan paragraf pembuka menarik. Prinsip yang dipegang oleh para penulis moderen ini, persis meniru Qur’an.  Anda langsung bisa temukan contohnya di halaman pertama  al-Baqoroh.

Alif laam miim. Dzaalikal kitaabu laa roiba fiih. Hudan lil muttaqiin.

Itu adalah paragraf pembuka yang dahsyat. Tidak hanya dari keindahan linguistiknya. Tetapi juga menjadi maksud utama seluruh isi kitab dengan kedalaman maknanya.

Dalam penulisan moderen itu disebut lead. Kalimat pembuka yang memantik. Membuncah otak segera mencerna.

Kalimat “dzaalikal kitaabu laa roiba fiih” tidak hanya menjadi kalimat pembuka. Ia sekaligus menjadi kalimat pamungkas. Kombinasi yang sakti. 

Hampir semua surat dalam Qur’an, dibuka dengan kalimat-kalimat pembuka yang memantik. Memiliki kedalaman makna dan keindahan bahasa. Coba selami kalimat pembuka ayat ini:

Abasa wa tawalla.
An jaa’ahul a’ma.

Dia bermuka masam.
Ketika datang kepadanya seorang buta.

Membacanya, membuat kita tersentak.  Tersungkur. Tak akan berhenti dan terstimulasi untuk melanjutkan kalimat-kalimat selanjutnya. Terutama jika memahami bahasa Arab.

Masih banyak lagi kalimat pembuka surat yang tidak hanya menarik. Tetapi penuh dengan kedalaman makna dan keindahannya.

Teknik penulisan kekinian juga mengajarkan struktur kalimat yang tidak bertele-tele. Ringkas. Singkat. Padat. Jelas.

Penulis yang mengagungkan teknik ini adalah Dahlan Iskan. Bisa kita lihat melalui tulisan-tulisannya yang selalu ditunggu jutaan pembacanya.

Lagi-lagi, gaya demikian itu sudah didemonstrasikan Qur’an. Coba buka lagi kitab suci Anda. Tak usah jauh-jauh melompat ke dalam. Mulai halaman pertama.

Surah al-Baqoroh itu, kalimatnya pendek-pendek. Paragraf dibuka dengan tiga huruf: alif, lam, dan miim. Kalimat selanjutnya, hanya berisi lima kata. Dan seterusnya.

Teknik penulisan ini memberi ruang pembaca untuk bernafas. Mencerna. Mudah memahami. Sekaligus menikmati isi pesannya.

Apa yang telah didemonstrasikan Qur’an ini, kemudian melahirkan rumus: “Khoirul kalaami maa qolla wa dalla”. Sebaik-baik kalimat adalah yang singkat dan mampu menjelaskan. Rumus ini, sudah muncul jauh sebelum Dahlan mengajarkan teknik menulis cekak aos itu.

Poin terakhir dan pamungkas teknik literasi Qur’ani adalah keindahan bahasanya. Pesan-pesan penting dan materi berat, pengetahuan demi pengetahuan, sering disampaikan dengan bahasa sastra tingkat tinggi. Bentuk inilah yang melahirkan suatu ilmu yang disebut balaghoh.

Ketika pertama wahyu disampaikan, Nabi dibully. Para intelektual dan  penyair Arab pada jaman itu dengan nyinyir mengatakan bahwa Qur’an hanyalah syair-syair yang dibawakan Muhammad.

Namun, Qur’an membalasnya dengan halus: Ia bukanlah syair. Ia adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

Qur’an memang bukan karya sastra. Tetapi bukan berarti tidak memiliki unsur sastra. Ini kita pahami, mengingat tidak mudahnya manusia tersentuh ajaran.

Qur’an sendiri mengatakan berulang kali bahwa cara menyampaikan ajarannya dengan amsal-amsal. Tujuannya, agar manusia berakal, memahami, beriman, meyakini dan seterusnya.

Dalam kenyataannya di banyak ayat yang tersebar itu, disampaikan dengan struktur kalimat dan bahasa yang indah. Coba, resapi kalimat ini:

”Andaikan Qur’an ini diturunkan di atas gunung, niscaya kau akan melihatnya tertunduk karena takut kepada Allah”.

Gunung menunduk karena takut. Itu adalah kalimat amsal. Metafora.

Sekali lagi Qur’an bukanlah rangkaian syair. Bukan sastra.

Maksudnya, tidak ada satu pun syair atau sastra di muka bumi ini yang bisa menyamainya!

Jika untaian ayat-ayat itu boleh diibaratkan sebuah kebun, ia adalah bunga.   Ia bagaikan  buah anggur. Kita tinggal memetik kelezatan dan keindahan literasinya (*)

Anab Afifi, Penulis buku Ayat-ayat yang Disembelih.