Sekolah Bukan "Bengkel"


Judul ini agak anti mainstream. Apa hubungan sekolah dan bengkel? Apakah sekolah harus disamakan dengan bengkel? Mari kita tinggalkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan fokus pada pembahasan selanjutnya agar tidak mengalami kerancuaan dalam berpikir.

Sekolah merupakan tempat kedua anak untuk dididik. Disana anak bersosialisasi dengan para "orang tua kedunya" atau guru dan teman-teman sebayanya. Disana anak menyatu dalam budaya hidup bersosial dalam keluarga kecil. Disana anak dididik, dibina, dan diarahkan sesuai dengan visi sekolah. Sekolah tentu telah mempersiapkan kunci-kunci suksesnya agar "input" yang diproses menghasilkan "produk" atau output yang sesuai dengan apa yang diingin wujud nyatakan.

Lihatlah, banyak sekolah rame-rame diakreditasi, ada delapan standar pendidikan yang dijadikan acuan penilaiannya. Tak cuap-cuap, sekolah senantiasa memperbaiki dirinya lewat hal itu. Sekolah menyadari "produk" yang sedang mereka tangani ini bukan benda mati. Melainkan benda hidup yang senantiasa berubah dalam keadaan tak terduga.

Sisi lain, sekolah punya beban yang sangat kompleks. Menyiapkan sumber daya pengajar, menyusun rencana sekolah dan membangun harmonisasi dengan warga sekolah menjadi tantangan klasik yang kadang tidak bisa diuraikan satu demi satu indikator permasalahannya. Kalaupun bisa, tertangani pun belum maksimal.


Upaya memberikan hal terbaik oleh sekolah, ternyata sekolah punya jatah yang sangat sedikit. Coba dihitung, berapa jamkah waktu anak di sekolah. Masuk pukul tujuh pagi, pulang jam satu siang, atau full day school, masuk jam tujuh pagi, pulang jam empat  sore. Jika dirata-ratakan, sekolah hanya punya waktu sepuluh jam sehari. Jika kita hitung interval waktunya, maka kondisi ini belum cukup sekolah memberikan asupan gizinya.

Hitungan matematika tersebut menjawab persoalan yang ada. Jika ada kasus, anak tidak tau baca, tidak tau berhitung, pintar tapi suka nyontek, cerdas tapi suka berbohong, bodoh tapi suka membantu. Tulalit tapi tak pernah alpa. Itulah warna karakter anak yang dihadapi. Jika demikian yang salah siapa? Sekolah?

Tidak juga. Sekali lagi, sekolah hanyalah lembaga kedua anak yang punya keterbatasan dalam segi internalisasi karakter anak didik. Sungguh, sekolah tidak bisa disalahkan sepenuhnya ketika anak dianggap tidak sesuai dengan perilaku sekolah.

Untuk itu, perlu adanya efektifitas yang terbangun dengan baik antara sekolah dan orang tua. Kiranya selama ini, ada hal yang terputus antara kedua eleman ini. Keluarga sebagai madrasah utama anak harus bisa bersinergi secara maksimal dengan pihak sekolah.

Jangan sampai ada anggapan yang mengatakan "ketidakberhasilan " anak sepenuhnya dilimpahkan ke  sekolah. Atau, sebaliknya. Akhirnya fungsi kedua jalur pendidikan yang hakikatnya sebagai pilar kesuksesan anak hanya sekedar teori belaka.

Upaya pencerdasan anak itu adalah tanggung jawab bersama, dalam hal ini sekolah dan orang tua. Kedunya harus saling terbuka memberikan informasi tentang diri anak. Ketika telah tercipta kondisi saling percaya antara keduanya, maka anak akan merasa diawasi. Dengan fungsi pengawasan ganda demikian, anak akan mawas diri dan melakukan hal yang terbaik.

Sudah jelas apa peran orang tua dan sekolah. Peran orang tua sebagai pendidik memang sangat dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan anak. Orang tua hendaknya mempertahankan prestasi anaknya. Tidak sedikit pula banyak kasus yang muncul bahwa keberhasilan belajar anak juga dipengaruhi oleh bimbingan orang tua. Kan begini, jika anak mendapat prestasi, pasti yang disebut pertama adalah "ini anak siapa ya?" bukan "gurunya siapa ya?"
Untuk itu dalam konteks pemerolehan motivasi dan dorongan akan kemajuan anak, sangat banyak tergantung pada orang tua. Akan tetapi kenyataan di lapangan karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan primer, banyak orang tua yang bekerja. Case studinya pergi pagi, pulang malam, anak minta dibantuin buat PR, malah dibentak atau dianggap angin lalu. Gambaran ini terjadi dan mengabaikan waktu anak yang ingin mendapat prestise dari orang tuanya.

Akhirnya ketika anak sampai di sekolah, anak melampiaskan kemarahannya kepada teman-temannya di sekolah. Anak mengalami tekanan psikologi dan mencari ruang empati kasih sayang. Apapun akan dilakukan untuk mencari simpati warga sekolah.

Nah, sekolah sebagai wadah pembelajaran bagi anak, jika tidak mengenal secara detail anak didik seperti ini, maka yang ada dibenak para warga sekolah adalah anak seperti ini dicap "anak nakal." Tentu kita tidak ingin kasus seperti itu terjadi. Hanya gara-gara tidak saling bersinergi antara orang tua dan sekolah.

Padahal, ada tiga hal yang perlu dicapai anak dalam pendidikan lewat sekolah, yakni kognitif, afektif dan psikomotorik.  Ketiga unsur pembangun itu tidak serta merta dikuasai anak sekaligus, namun melalui tahapan-tahapan yang panjang. Ini bukan perkara gampang. Semua itu butuh sentuhan kita.

Kita punya cita-cita sama, bukan sekedar mencerdaskan anak, melainkan membentuk karakter anak yang tinggi ilmu, sehat jasmaninya, dan kokoh imannya. Apalagi dengan hidupnya sikap bullying akibat tontonan media sosial, anak jika tidak diawasi secara komprehensif, maka akan menimbulkan masalah bagi kepercayaan diri anak dan sikap menghormati antara sesama. Tentu akan mengganggu masa depan anak.

Pada akhirnya, sekolah bukan bengkel. Tempat penitipan, lalu ditinggal pergi "barangnya". Nanti kembali untuk melunasi pembayaran harga perbaikan "barangnya.".